Prioritas Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Pertimbangan
Di masa sekarang ini, hutan dipilah‐pilah untuk melayani kebutuhan manusia dan untuk memudahkan manusia mengelola sumber daya yang ada di dalamnya. Kawasan yang memiliki kondisi bentangan yang memadai untuk menghasilkan kayu dialokasikan menjadi hutan produksi. Hutan yang memiliki perwakilan keunikan suatu ekosistem dilindungi sebagai kawasan konservasi, sedangkan hutan yang memiliki karakteristik sebagai pengatur tata air ditetapkan sebagai hutan lindung. Fungsi intrinsik sebagai sumber pangan sudah semakin ditinggalkan dengan berkembangnya pertanian di lahan permanen. Pangan tidak lagi bersumber dari perburuan di hutan tapi disediakan oleh usaha pertanian.
Pemilahan kawasan hutan ini sekaligus dimaksudkan untuk menjaga agar fungsi intrinsik dari hutan tetap terpelihara. Dari sudut pandang pengelolaan hutan, kawasan hutan yang paling sengsara adalah hutan produksi. Pengelola hutan produksi dituntut untuk melayani fungsi lindung di sebagian kawasan pengelolaannya. Produksi kayu harus diimbangi dengan usaha konservasi yang pendekatan pengelolaannya berada pada dua kutub yang berseberangan. Untuk memenuhi tuntutan produksi, pengelola akan merusak bentangan, sedangkan untuk mencapai target konservasi pengelola harus tidak mengganggu bentangan termasuk sistem alami yang berproses di dalamnya.
Sulawesi merupakan pulau dengan kandungan ekosistem alami yang unik dan tidak tergantikan. Hasil dorongan geologi dan dinamika samudera yang aktif telah membentuk pulau yang berkelok‐kelok dengan semenanjung yang sempit dan bergunung‐gunung. Kesuburan tanah vulkanik dan iklim tropik yang nyaman telah menciptakan ekosistem Sulawesi yang kaya dan khas. Biogeografi Afrika‐Oriental dan Australasia berpadu dalam satu bentangan dan melahirkan kombinasi keanekaan hayati yang indeks endemisitas gabungan terestrial dan bahari adalah tertinggi di Dunia.
Selama berabad‐abad hutan alam di Indonesia termasuk di Sulawesi telah menjadi sumber kayu untuk bangunan dan kertas. Pemanenan kayu yang intensif telah meninggalkan ekosistem hutan yang sangat terdegradasi dengan potensi kayu yang tidak begitu menguntungkan lagi untuk operasi hutan komersil. Kawasan yang semula
Version 1.2.
John Tasirin 7/28/2008
direncanakan untuk menopang kebutuhan kayu nasional tidak lagi bisa melayani fungsi tersebut. Pemilahan fungsi dan alokasi lahan hutan. yang semula dianggap bijak, saat ini menjadi limbung. Kawasan produksi tidak produktif tapi disampingnya terdapat hutan, yang katanya “dilindungi”, memiliki kayu.
Dalam pandangan umum, tidak ada perbedaan yang berarti antara hutan produksi atau hutan lindung dibanding dengan perkebunan kelapa atau cengkeh. Semuanya adalah ladang untuk mencari nafkah. Fungsi penyanggaan Pandangan ini menjadi arus kuat dan memiliki penganut yang semakin banyak baik itu di kalangan birokrasi, legislatif dan rakyat kecil. Semua “mencari aman” dan membangun kenyaman sendiri. Mungkin juga karena perubahan bentangan yang ekstrim belum pernah membawa kerugian atau bencana pada masa hidup generasi pelaku perusakan yang hanya mengisi rentang waktu 20‐25 tahun. Pandangan ini menjadi kebenaran sepanjang masa dalam skala satu generasi umur manusia. Pada hakekatnya, para penganut pandangan ini sedang berpidato bahwa “penetapan hutan lindung adalah kebodohan atau lelucon yang tak lucu.” Orang‐orang yang tidak peduli, tidak mau mengikat diri pada komitmen jangka panjang karena prioritas yang keliru. Arti hakiki dari pandangan seperti ini adalah “uang hari ini diperas dari korban bencana di masa depan”.
Dari sudut pandangan kebijakan negara, hutan lindung adalah hutan yang ditetapkan untuk melayani fungsi lindung. Tidak ada tujuan produksi kayu di dalamnya. Untuk alasan pendapatan daerah dan kemiskinan, dengan sengaja, sementara masyarakat telah mengabaikan kawasan hutan lindung sebagai situs terakhir fungsi lindung yang ditawarkan alam kepada manusia. Juga sering terlupakan bahwa peraturan perundangan dibuat untuk menyediakan jaminan agar fungsi lindung tersebut tidak diinterupsi oleh kegiatan lain seperti pertambangan atau penebangan. Merusak kawasan lindung untuk tujuan pengentasan kemiskinan, baik secara perorangan maupun badan usaha, seolah telah menjadi suatu kebenaran. Kebenaran semu ini harus ditunggangbalikkan.
Luas hutan lindung di Sulawesi Utara terlalu kecil untuk secara berkelanjutan mampu menopang fungsi lindung yang efektif. Oleh karena itu, fungsi lindung harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan lahan hutan dan bahkan di kawasan produksi di sekitar hutan. Perluasan implementasi fungsi lindung di kawasan tetangga ini justru akan lebih menjamin bahwa alam akan memberikan pelayanan “perlindungan” yang lebih baik.
Tidak bisa disangkal bahwa fungsi lindung bisa disediakan tidak hanya oleh hutan lindung. Kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya lainnya bisa dikelola untuk tujuan produksi tapi sekaligus melayani fungsi lindung. Fungsi lindung di kawasan budidaya mungkin tidak akan seefektif dibandingkan dengan kawasan lindung tapi bisa dioptimasi lewat teknologi terkini dalam bidang konservasi tanah dan air. Hal ini tidak harus diartikan bahwa kawasan hutan lindung lalu tidak memiliki arti lagi, apalagi di semananjung utara Sulawesi yang sarat patahan geologi dengan penampang
topografi yang bergerigi dan lebar yang sempit. Oleh karena itu, perencanaan wilayah yang terbaik di Sulawesi Utara adalah perencanaan yang secara berarti mempertimbangkan kawasan lindung sebagai penyangga pembangunan dan kehidupan.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dimanapun di Sulawesi akan terganggu dan tidak berkelanjutan jika hutan lindung dan kawasan lain yang memiliki fungsi lindung tidak terpelihara. Agar fungsi lindung terpelihara, pengawasan dan pengendalian yang ketat harus diberlakukan bagi penebangan pohon dan konversi lahan. Tidak perlu menunggu munculnya gangguan atau bencana. Ketika penanganan dilaksanakan setelah adanya gangguan serius maka biaya pembangunan akan digerogoti secara serius juga oleh pembiayaan bencana alam yang diinduksi oleh pengelolaan lahan yang keliru.
Mengganggu kawasan hutan lindung dan kawasan lainnya yang memiliki fungsi lindung di Pulau Sulawesi dan terutama di Sulawesi Utara akan menggerogoti dan melenyapkan pelayanan jasa alam untuk menyangga kehidupan rakyat dan pembangunan ekonomi. Dalam kerangka pemikiran seperti ini, adalah tidak logis untuk menggunakan kawasan yang memiliki fungsi lindung (berbentuk hutan atau usahatani berkelanjutan) untuk usaha pertambangan.
0 komentar:
Posting Komentar